Kami pernah membuat usaha emping mlinjo.  Setelah lulus kuliah di D3 Jurusan Administrasi Niaga Politeknik Negeri Malang, saya memberanikan diri membuka usaha yang bisa di bilang agak aneh ini.  Saya berkata demikian, karena mungkin, sangat jarang sekali ada orang yang mau memilih usaha ini.


Dengan bantuan modal kakak saya Kakung Priyambodo, akhirnya saya berbelanja kebutuhan apa-apa saja yang di butuhkan untuk memulai usaha.  Di desa sebelah, kebetulan ada saudara yang mempunyai bisnis ini.  Saya pun berkunjung ke desa serut, masih satu kecamatan dengan kami, Boyolangu.

Ada saudara yang mau mengajari proses pembuatan dari emping mlinjo ini.  Mulai memberitahu apa saja yang harus di beli, mulai dari batu untuk landasan pemipihan emping mlinjo sampai palu untuk memukul hingga emping mlinjo bisa menjadi pipih.  Palu yang di butuhkanpun, juga tidak sembarang palu.  Kami harus memesan pada tukang pandai besi.  Di desa sebelah, kendalbulur kami memesannya.  Disamping itu, saya juga mendapatkannya dari saudara saya tersebut karena kebetulan ada yang menjual palu untuk membuat emping mlinjo di desanya.




Saudara saya bilang, saya yang harus belajar sendiri terlebih dahulu.  Dengan alasan jika suatu saat nanti ada pegawai yang keluar masuk perusahaan, saya bisa mengajarinya karena saya sudah mempunyai skill tentang proses pembuatan emping mlinjo.  Mulai dari pengupasan biji mlinjo, penyangraian (menggoreng biji mlinjo dengan pasir), mengupas biji keras mlinjo, hingga memipihkannya serta proses penjemuran.

Saya pun belajar.  Semua proses saya lakukan.  Memipihkan satu per satu hingga bisa.  Hingga sempurna.  Walau badan agaknya mau remuk semua setelah proses belajar itu, tapi saya rasa, saya harus melakukannya.  Dan akhirnya, selama 2 minggu, saya pun bisa membuat emping mlinjo sendiri.  Disini saya tidak menjelaskan secara detail proses pembuatan emping mlinjo, tetapi akan saya jelaskan di tulisan lain di blog ini. 

Kira-kira 6 bulan kami menjalani proses pembuatan emping mlinjo itu.  Ada beberapa hal kendala yang kami temui.  Mulai dari sulitnya mendapatkan bahan baku, hingga saya sendiri kadang-kadang harus memanjat sendiri, kadang-kadang juga bersama ibu saya, ke ladang yang terdapat pohon emping mlinjo disana.  Berkurangnya jumlah pohon yang biasa di sebut blinjo tersebut mengakibatkan berkurangnya pula pasokan akan biji emping mlinjo siap produksi di pasaran.  Maka dari itu, kadang-kadang saya pun rela pergi sendiri membeli jika ada tetangga yang kebetulan mempunyai pohon emping mlinjo.  Mencari ke desa-desa sebelah juga sering saya alami, dan hasilnya juga tampak tidak seperti yang saya harapkan.







0 komentar:

Posting Komentar

 
Top